Saturday, May 30, 2009

Kabar Tentang Jatuh Sakitnya Aung San Suu Kyi Menjadi "A Very Sad Story" Yang Dimuntahkan Tahta Kediktaroran Jenderal Senior Than Shwe



Jakarta 30/5/2009 (KATAKAMI) Seandainya saja tidak ada tamu nyasar yang mendatangi rumahnya yang dijadikan tempat bagi Aung San Suu Kyi untuk menjadi tahanan rumah pada pertengahan Mei lalu, barangkali saat ini pemimpin oposisi peraih Nobel Perdamaian tersebut sudah bisa menghirup udara segar.

Sebab status tahanan rumahnya (katanya sih) akan dicabut oleh Pemerintah Junta Militer Myanmar. Tapi, entah ini memang rekayasa atau justru suratan tangan (takdir) bagi Suu Kyi yang terus menerus mendapat cobaan hidup yang berat.


Sejak awal tidak terlihat ada kesungguhan dari Jenderal Senior Than Swe sebagai BIG BOSS dari Junta Militer Myanmar untuk melaksanakan janji atau komitmen mewujudkan "Road Map To Democracy" atau "Peta Jalan Menuju Demokrasi".

Ya, inti utama dari janji penting itu sebenarnya melepaskan Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya. Tetapi dalam diplomasi, kata-kata atau kalimat bersayap tampaknya memang diperlukan untuk menjaga relasi dan hubungan diplomatik yang sedapat mungkin dijaga sangat baik.

Padahal kalau mau jujur, entah sudah berapa kali KTT ASEAN diadakan tetapi tetap saja Myanmar sebagai salah satu negara anggota ASEAN, tak pernah dan tak terbukti menepati janji politik tadi. Suu Kyi tetap meringkuk dan terbelenggu dalam status tahanannya.

Dan siapa bilang ditahan dalam "rumah sendiri" akan terasa menyenangkan ? Walau Suu Kyi ditahan dirumahnya sendiri, belenggu penahanan itu tetaplah sebuah belenggu yang mata rantainya mengikat hati, pikiran, perasaan, perkataan, perbuatan, kecerdasan, kekritisan dan totalitas hidupnya sebagai seorang manusia.

Tak ada komunikasi. Tak ada sosialisasi. Tak ada aktualisasi diri. Sebab, semua serba dibatasi dalam "kurungan duniawi" yang pasti sangat menjemukan, melelahkan, menyakitkan dan benar-benar menghancurkan benteng pertahanan diri.

Walaupun misalnya, ia menghabiskan waktu dengan membaca buku, bisa jadi kalimat demi kalimat yang dibaca dalam buku tersebut tak terekam secara baik dalam "kepalanya".

Bagi seorang pejuang kemanusiaan yang menyerahkan hidupnya untuk menentang segala kebatilan, seorang Aung San Suu Kyi tak akan pernah berhenti untuk memikirkan kondisi riil rakyat di negaranya -- agar bagaimana caranya bisa terbebas dari segala pemasungan HAK --.

Persis menjelang tutup bulan ini, berita terbaru yang keluar mengenai kabar Aung San Suu Kyi sangat menyedihkan. Ia jatuh sakit dalam penjara. Di usianya yang mencapai 63 tahun, sejumlah penyakit mendera fisik Suu Kyi pada saat ini.



Seperti yang dilaporkan Radio Nederland Belanda, Partai Politik yang dipimpin Aung San Suu Kyi saat ini merasa prihatin atas kondisi kesehatan pemimpin mereka itu. Suu Kyi dikabarkan sedang menderita tekanan darah rendah, dehidrasi, dan sulit tidur karena kramp pada kaki.

Peradilan yang dihadapi Suu Kyi saat ini mendakwa Suu Kyi bahwa ia telah dengan sengaja menampung seorang warga Amerika dan itulah yang disebut sebagai pelanggaran atas aturan Junta Militer atas status tahanan rumah.

Tapi menurut Suu Kyi dalam kesaksiannya di Pengadilan, ia samasekali tidak tahu jika pria AS itu bermaksud mendatangi rumahnya. Pria AS tersebut berenang menyeberangi danau untuk bisa mencapai rumah Suu Kyi.
Dan atas dakwaan pelanggaran aturan status tahanan rumahnya ini, Suu Kyi bisa dikenai hukuman penjara tiga sampai lima tahun.

Isu seputar Aung San Suu Kyi memang menjadi topik pembahasan dan agenda penting yang diutamakan kalangan internasional, termasuk diantaranya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau secara khusus lagi Dewan Keamanan PBB.

Seruan demi seruan, kecaman demi kecaman, terus berdatangan dari kalangan internasional atas peradilan baru yang ditimpakan kepada Aung San Suu Kyi -- persis menjelang pembebasannya --.



Tapi patut dapat diduga kekerasan hati dari Junta Militer Myanmar (khususnya Jenderal Senior Than Swe) terwujud lewat sikap tak bergeming dan tetap seperti yang dulu yaitu sosok pemimpin yang otoriter, keras kepala, sombong, tidak manusiawi, brutal dan menderita "kebutaan" yang akut terhadap nilai-nilai Hukum, HAM & Kemanusiaan.

Kalau hanya sekedar buta biasa saja, pasti sudah sangat "gelap" rasanya, apalagi kalau kebutaan itu sudah sangat akut karena barangkali "didalam rongga mata hatinya" sudah menyebar virus berbahaya yang memberangus dan menewaskan setiap rasa kemanusiaan dan keadilan yang secara mendasar memang dimiliki oleh setiap manusia ciptaan Tuhan.

Sebenarnya, kalau gaya dan bahasa diplomasi bisa sangat menggunakan bahasa yang sangat tajam maka paling enak menanyakan secara jujur lewat gaya tembak langsung kepada Jenderal Senior Than Swe.

Secara jujur, apakah patut dapat diduga sebenarnya Junta Militer Myanmar ingin membunuh Aung San Suu Kyi dengan cara-cara yang dibuat harus sangat natural untuk mengelabui rakyat Myanmar, partai politik serta seluruh pendukung setia Suu Kyi, ASEAN dan kalangan internasional.

Secara jujur, apakah patut dapat diduga sebenarnya Junta Militer Myanmar sudah kehilangan akal sehat bahwa setiap penahanan itu harus ada tenggat waktu dan batas akhir penahanannya sesuai dengan aturan hukum ?

Jika melihat rekayasa demi rekayasa politik, ditambah lagi diulur-ulurnya waktu pembebasan bagi Suu Kyi, mau tak mau mendorong semua kalangan untuk mencurigai dan mengantisipasi kemungkinan yang terburuk bahwa sebenarnya patut dapat diduga Junta Militer Myanmar hendak membunuh Suu Kyi.

Apa bukan membunuh namanya, jika Suu Kyi yang sudah lebih dari 13 tahun dipenjara, terus menerus mau dipenjara -- setelah sempat dilonggarkan menjadi tahanan rumah -- ternyata diseret lagi masuk ke dalam jeruji besi ?

Dan penjara manapun di muka bumi ini, tidak ada yang enak, nyaman, higenis dan manusiawi !

Setiap penjara, di negara maju atau negara berkembang, sama saja dampaknya kepada setiap tahanan yaitu membelenggu jasmani dan rohani secara total. Iya kalau si tahanan itu memang memiliki indikasi kesalahan dan di pengadilan dinyatakan terbukti bersalah melakukan pelanggaran hukum.

Tetapi kalau sekedar untuk mematikan langkah, perjuangan dan popularitas lawan politik maka penahanan itu adalah ciri dari pemerintahan yang otoriter dan sangat tidak tidak tahu diri bahwa kehidupan mereka sebagai sebuah bangsa dan negara adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas internasional.

Sehingga, sikap sok hebat, arogan dan doyan betul melakukan penyalah-gunaan kekuasaan (the abuse of power) maka Junta Militer Myanmar ini selayaknya dikucilkan dan disingkirkan dari semua bentuk wadah organisasi dan jalinan kerjasama dengan negara manapun di muka bumi ini.

Kabar tentang sakitnya Aung San Suu Kyi didalam penjara terdengar bagaikan sebuah ironi yang kesedihan dan kepedihannya ikut menyentuh hati siapapun yang sangat peduli kepadanya di muka bumi ini.

Mendengar ia terus menerus ditahan selama belasan tahun saja, orang sudah sangat prihatin. Apalagi mendengar, ia jatuh sakit saat penguasa otoriter yang patut dapat diduga menderita kebutaan akut pada moral dan mata hatinya itu hendak terus mengabadikan penahanan Suu Kyi.

Siapapun di muka bumi ini yang terlatih dan memang berkemampuan tinggi dalam hal penggunaan senjata api -- terutama yang berlatar belakang militer atau non militer tetapi berbasis ala militer -- bersikap sangat amat buas tak terkendali dalam "memerangi" seorang perempuan, patut dipertanyakan kepada para pelaku peperangan yang tak bermoral ini apakah mereka manusia ?


Bayangkan, untuk menghadapi seorang perempuan saja, harus mengerahkan seluruh daya kekuatan yang sangat maksimal !

Lain halnya, kalau harus berhadap-hadapan dengan musuh yang nyata dalam medan pertempuran yang seimbang yaitu militer lawan kekuatan bersenjata pihak lawan atau kekuatan bersenjata pemerintah lawan gerombolan terorisme.

Kalau wujud dan bentuk peperangannya seperti itu, bolehlah bersikap sangat gagah berani dan pantang menyerah dalam melumpuhkan lawan.

Tapi ini yang dihadapi hanyalah SEORANG PEREMPUAN SAJA !



Maka dari itu, siapapun di muka bumi ini yang beraninya cuma sama perempuan (apalagi cuma menghadapi satu orang perempuan saja) sudah asngat kalap, brutal, liar, buas dan membabi buta dalam menyerang maka pelakunya itu harus memeriksakan diri ke dokter.

Apakah ia seorang lelaki atau perempuan atau berjenis kelamin yang tak jelas !

Militer atau kekuatan bersenjata manapun dimuka bumi ini (termasuk didalam POLISI), wajib hukumnya menghormati perempuan. Bukan justru menyiksa, menekan, merampas semua hak-haknya dengan melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM berat.


Kabar tentang sakitnya Aung San Suu Kyi membuat hati setiap perempuan di muka bumi ini yang memang sangat peduli padanya, menjadi ikut terlukai secara dalam. Suu Kyi bukan lagi seorang gadis remaja yang muda belia. Ia sudah mencapai usia 63 tahun.

Dalam usia seperti itu, ia dipasung oleh kekuasaan dalam kesendirian yang penuh penderitaan fisik dan non fisik. Ditambah lagi, beratnya beban yang harus ditanggung oleh Suu Kyi membuat dirinya tak mampu lagi untuk bertahan.

Kondisi sakit yang menyedihkan ini, sialnya membuat Suu Kyi kesulitan untuk tidur dan beristirahat.

Jika ini terus berlanjut maka kemungkinan terburuk yang bsia terjadi adalah Suu Kyi akan menemui ajalnya kalau sakit itu bertambah saat fisiknya memang tak mampu lagi bertahan akibat minimnya energi (tenaga) dan semangat hidup.

Apa itu yang sebenarnya yang patut dapat diduga sedang ingin dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Aung San Suu Kyi yaitu membunuhnya pelan-pelan dalam kondisi yang harus benar-benar "sakit" agar ada alibi kepada semua pihak atas kematian yang bisa saja sewaktu-waktu menimpa Suu
Kyi ?

Jangan pernah ada yang berpikir bahwa hal itu tidak mungkin terjadi !

Kuatnya tekanan internasional membuat Junta Militeri Myanmar harus sangat hati-hati mencari segala alibi dan dalil-dalil "hukum" bila hendak menjerat Suu Kyi.

Tetapi ada satu hal yang tampaknya disadari, dipahami dan sangat "dikuasai" permasalahannya oleh Junta Militer Myanmar bahwa pihak manapun dalam tataran internasional -- entah itu ASEAN, PBB, Dewan Keamanan PBB atau negara-negara besar manapun juga -- semua paling-paling hanya bisa menyampaikan seruan-seruan lewat pernyataan resmi di media massa.

Mereka sudah hapal luar kepala dan menjadi terbiasa dengan etika diplomatik yang tidak bisa terburu-buru dalam mengambil tindakan sangat amat tegas kepada sebuah negara. Jadi dalam perjalanan panjang penahanan Suu Kyi selama belasan tahun ini, "permainan" ini seakan dimenangkan oleh Junta Militer Myanmar.

Persetan dengan dunia internasional, paling-paling cuma seperti itu saja reaksi mereka atau mengirimkan seorang utusan khusus.

Sekarang, semua terpulang kepada pihak-pihak yang berkompeten secara organisasi atau kenegaraan untuk mengambil langkah tegas dalam menghadapi Jenderal Senior Than Swe dan Pemerintahan Militeristik yang dipimpinnya.

Apakah akan membiarkan kehidupan yang nyata dari seorang pejuang kemanusiaan Aung San Suu Kyi, terus menerus dijadikan tawanan abadi yang tak berperikemanusiaan dari sebuah negara yang dipimpin oleh diktator militer yang beraninya cuma sama seorang perempuan ?

Daun telinga dari Jenderal Senior Than Swe, barangkali memang sudah sangat tebal sehingga ia bisa tenang-tenang saja menghadapi semua seruan, kecaman bahkan hujatan yang sekeras apapun karena gaungnya cuma akan didengarnya kalau ia menyetel atau membaca media massa.



Untuk mewujudkan sebuah misi yang baik bagi rakyatnya, Aung San Suu Kyi harus membayar dengan harga yang sangat mahal yaitu menjalani penyiksaan yang kejam tak terhingga. Semoga masih ada sisa-sisa kesabaran yang tertanam dalam sanubari dan diri Aung San Suu Kyi agar dapat menopang dirinya untuk bisa tetap bertahan menjalani kisah kehidupan nyata yang sangat menyentuh hati dan bobot kesedihannya sungguh tak tertahankan.

A very sad story.


(MS)